Tukeran Link Yuk!

Tukeran Link | Backlink | Link Exchange

Random Post

12.3.13

Cinta Kasih Dilihat Dalam Perspektif Hindu


Sudah menjadi kata yang terpadu antara cinta dan kasih. Tentu makna kasih lebih dalam dari pada cinta. Dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan pada kesenangan, kesetiaan, kepuasan terhadap suatu obyek. Sedangkan kasih adalah perasaan cinta yang tulus lascarya terhadap suatu obyek. Kenapa dalam mengekspresikan sikap ini selalu digunakan gabungan kata cinta dan kasih? Pertanyaan ini menjadi menarik ketika seseorang baru sanmpai sebatas cinta. Lalu apa yang menjadi kebutuhan yang lebih tinggi lagi dari cinta? Dapat dipastikan jawabannya adalah kasih.

Ternyata perbedaannya terletak pada kesanggupan dan kemampuan memahami hakikat cinta dan kasih. Adapun yang menjadi obyek dari cinta kasih itu adalah semua ciptaan Sanghyang Widhi Wasa. Tuhan Yang Maha Esa. Ciptaan Tuhan dapat digolongkan dalam tingkatan sesuai eksistensinya atau kemampuannya yaitu “eka pramana” ialah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan berupa bayu/tenaga/ hidup, seperti tumbuh-tumbuhan. “Dwi pramana” ialah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan berupa bayu dan sabda/bicara, seperti hewan/binatang. “Tri pramana” ialah makhluk hidup yang memiliki tiga aspek kemampuan berupa bayu, sabda dan idep/pikiran, seperti manusia. 

Tri Hita Karana. Untuk dapat menghayati lebih luas lagi, ajaran cinta kasih dapat diwujud-nyatakan dalam interaksi sosial religius yaitu antara sesama manusia (pawongan), antara manusia dengan alam lingkungan (palemahan), dan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan). Ketiga hal ini dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.

Tat Twam Asi.
Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa aku adalah kamu. Maknanya dikembangkan lagi: engkau adalah dia, dia adalah mereka dan seterusnya. Inilah yang sering disebut dengan ”Tat Twam Asi” yang dinyatakan dalam kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.

Refleksi Cinta Kasih.
Cinta kasih bukanlah sekedar penghias bibir atau buah bibir yang berbunga-bunga, akan tetapi sebuah realita yang tulus lascarya tanpa pamrih. Sesungguhnya bagi siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram, tenang, damai dan bahagia. Cinta kasih yang tulus lascarya memberikan dampak yang sangat fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, yang sekarang dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih nan kunjung padam kepada semua ciptaan Sanghyang Widhi Wasa.

Dalam Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. dinyatakan : “Aham Brahman Asmi” yang artinya Aku adalah Brahman/Tuhan. Sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. dinyatakan : “Sarwam khalu idam Brahman” yang artinya semua ini adalah Brahman/Tuhan.

Dengan demikian tidak ada satupun di dunia ini yang lepas dari Dia. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, maka tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Yang berbeda hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Lalu apa yang harus dibangga-banggakan yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, ketenteraman, ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia di dunia ini? Sejatinya kebanggaan sebagai umat manusia yang religius, karena berbudi luhur dan prestasi. Mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan arif dan bijaksana serta menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualitas, moralitas dalam rangka meningkatkan sraddha kepada Sanghyang Widhi Wasa. Percaya kepada Tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih pada sesama manusia dan cinta kasih kepada alam lingkungan.

Keseimbangan Cinta Kasih. Untuk mencapai keseimbangan cinta kasih dapat diwujudkan dalam hubungan garis vertikal dan horizontal. Terlebih lagi memasuki abad modern dan global dibutuhkan pemikiran secara arif dan bijaksana. Di satu sisi dituntut bersikap rasional, namun di sisi lain masih diperlukan curahan emosi spiritual terutama dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta beserta isinya.

Jalan terbaik adalah bagaimana mensinergikan emosi spiritual dengan sikap rasional. Dalam hal ini relevansi keseimbangan cinta kasih dengan abad modern lebih difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan dan kealaman.

Saling mencintai dan mengasihi satu sama lain dan kepada siapa saja tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda 32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan. 

Cinta kasih Dalam Keluarga. Yang sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah tangga ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti pada alam sesuai dengan hukum abadi (Rta).

Dalam Atharwa Weda III.30 dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga : ”Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si isteri berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara, laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan makan makanan bersama.”

Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Kesimpulan.
Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa ajaran cinta kasih adalah bersifat umum (Samana) dan universal (Sadharana). Dalam perspektif Hindu ajaran cinta kasih diwujudnyatakan dalam hubungan garis vertikal dan horizontal yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Cinta kasih dapat diwujudkan apabila manusia memahami
secara sinergi antara perasaan emosi spiritual dan sikap rasional yang dilandasi dengan ajaran “Tat Twam Asi,” “Sarwam khalu idan Brahman,” “Aham Brahman asmi.”

Oleh : AAG. Raka Putra

Penulis adalah Ketua PHDI Kab. Bekasi

Source : Media Hindu

Kejujuran orang Bali Realitas ataukah sebuah Mitos?

Saya teringat, ketika saya masih kecil, sekitar akhir tahun 50an, di kampung saya ada seorang laki-laki yang bangga sekali karena pernah dipenjara di Nusa Kambangan. Sebabnya karena ia mencuri seekor babi. Saya tidak tahu mengapa hanya karena mencuri seekor babi, seorang dipenjara di Nusa Kambangan? Apakah di Bali pada waktu itu tidak cukup penjaranya? Sekarang kita tahu, Nusa Kambangan adalah penjara tempat mengurung penjahat besar, seperti para gembong teroris, sekelas Iman Samudra, Amrozy, Ali Gufron dkk, pembunuh hakim agung, gembong narkotik dan sekelasnya. Tetapi pada waktu itu juga Nusa Kambangan telah memiliki nama besar dan ini dipahami dan dimanfaatkan oleh orang kampung saya itu.

Setiap waktu dia ingin menunjukkan kewibawaannya terhadap orang lain, ia akan mengatakan : “Ne jeleme suba taen di Nusa Kambangan” (Ini manusia sudah pernah di Nusa Kambangan). Dan orang yang mendengar itu akan jerih dan ciut nyalinya. Tapi satu kali ia kena batunya. Ada orang yang berani bertanya. Ketika mantan narapidana ini ingin menunjukkan kuasa dengan kalimat ampuh “Ne jeleme……” orang yang berani itu segera memotong, “Memangnya kenapa sampai bapak di Nusa Kambangan?” Mantan narapidana ini diam. Mungkin dia malu dipenjarakan di Nusa Kambangan hanya karena mencuri seekor babi. Andaikata ia dipenjara di tempat jauh dan seram itu karena membunuh seorang jagoan yang mengacau desa, atau karena korupsi miliaran rupiah seperti pegawai pajak itu, barangkali dia tidak akan malu.

Seorang penceramah senior di Jakarta, sering kali mengungkapkan kebanggaannya akan kejujuran orang Bali. Coba lihat penjara-penjara di Bali, jarang narapidananya orang Bali. Kalau ada, biasanya karena pembunuhan, atau rebutan warisan, tidak ada karena pencurian atau perampokan, katanya.

Seorang kawan sekerja bertanya kepada saya tentang kejujuran orang Bali. Betulkah rumah-rumah di Bali tidak dikunci pintunya? Apa yang menyebabkan orang Bali jujur? Apakah itu masih ada sekarang ini? Saya jawab, dulu kalau ada orang mencuri dan tertangkap, dia akan diarak keliling desa dengan membawa barang hasil curiannya, diiringi gamelan bebonangan. Ini akan membuat si pencuri sangat malu. Dan ini akan membuat efek pencegahan bagi yang lain.

Memang benar rumah-rumah di kampung saya sampai sekarang tidak pernah dikunci pintunya, baik pintu gerbang untuk masuk pekarangan, maupun pintu kamarnya. Sepanjang ingatan saya, kami di rumah memang tidak pernah kecurian. Tetapi bukan tidak pernah kecurian sama sekali. Bapak saya pernah kehilangan seekor kucit (anak babi) di ladang. Pernah kehilangan buah vanili yang siap di panen, pernah kehilangan banyak ikan di kolam di sawah. Saya dan paman sendiri pernah mencuri bubu. Tapi ini ada unsur pembenarnya: kami marah dan tersing-  gung karena yang memasang bubu di sawah kami adalah orang dari lain desa. Sekalipun demikian tidak semua bubunya kami ambil, kami masih tinggalkan sebagian, karena si pemilik bubu berteriak dari seberang sungai, “jangan ambil semua pak. Itu untuk biaya sekolahkan saya.” Tentu yang terakhir ini tidak saya ceritakan ke teman kantor saya ini.

Sebaliknya seorang teman lain berkomentar agak sinis, ketika seorang kepala penjara di Denpasar malah masuk penjaranya sendiri karena sengaja melepaskan seorang nara pidana narkotik dari Australia. “Katanya orang-orang Bali orang-orang jujur,” kata teman ini. “Dia memang orang Bali, tetapi sudah bukan Hindu lagi,” kata saya waktu itu. Jawaban saya mungkin arogan, seolaholah bila orang Bali masih beragama Hindu, dia pasti tidak akan melakukan kejahatan. Atau paling sedikit orang Bali yang masih beragama Hindu lebih jujur dari orang yang beragama lain. Tapi bagaimana metode perbandingannya?

Seorang teman kantor yang lain lagi meminta saya menemaninya ke Bali, karena ada urusan ijin pembangunan sarana transmisi telekomunikasi. Saya mau saja, karena sekalian dapat pulang kampung. Ketika kami berangkat ke kantor kepala daerah, kawan ini membawa uang puluhan juta rupiah dalam tas plastic yang ditentengnya. Katanya uang itu bantuan operasional pemilu. Dia meminta saya agar menunggu di tempat parkir, tidak boleh ikut masuk, karena mungkin penyerahan “bantuan” ini akan gagal, barangkali pejabatnya malu kalau ada orang Bali yang ikut melihat transaksi ini. Dia masih berpikir positif, antara orang Bali tidak mungkin sogok menyogok. Itu perbuatan yang memalukan karena hukum karma yang mereka percayai. Begitu barangkali pikirnya.

Sekarang desas desus ramai sekali, bahwa seorang kepala daerah di Bali kerjanya hanya mengutip sogokan dari orang-orang yang ingin jadi pegawai, yang tentunya orang-orang Bali juga. Katanya untuk menjadi pegawai di pemda seorang sarjana harus bayar upeti sekitar 150 – 200 juta rupiah.

Ada kepala daerah yang memiliki pabrik miras, yang membuat teler orangorang sekampungnya, dan dia dilaporkan oleh mantan ketua DPRD ke KPK, karena mark up pembelaian tanah untuk rumah sakit, tapi sampai sekarang tidak jelas ujungnya. Kepala daerah yang lain menjadikan anak dan istrinya sebagai calo proyek. Entah benar entah tidak. Yang sudah menjadi fakta hukum, karena sudah diadili dan dihukum adalah adik seorang bupati yang terlibat pembunuhan terhadap seorang wartawan, karena wartawan ini mengungkapkan kkn yang dilakukannya terkait proyek-proyek di kantor kakaknya. Ada pula seorang mantan bupati yang diadili karena korupsi. Yang lebih memprihatinkan lagi pencuri pratima (lambang Tuhan yang disucikan) di beberapa pura ternyata orang Bali sendiri, yang masih beragama Hindu, hanya penadahnya orang Italia.

Tetapi ada juga hal yang menggembirakan, yaitu kantor Wali Kota Denpasar merupakan kantor terbersih dari korupsi di antara kantor bupati dan kota di Indonesia, yagn disurvei oleh Transparansi Internasional Indonesia. Kantor ini memperoleh nilai tertinggi 6 dari skala 10. Jadi tidak bersihnya cuma atau tinggal 4.

Belakangan ini ada dua orang Bali yang sering namanya masuk media massa, cetak dan elektronik, karena terkait korupsi. Yang satu seorang penjabat eselon dua di Kemennakertran, yang satu lagi seorang anggota DPR. Pejabat eselon dua ini, rupanya ketiban sial, terpaksa harus menerima uang titipan THR lebaran untuk menterinya, karena orang yang seharusnya menerima uang itu tidak datang pada saat pengusaha menyerahkannya. Dan ia tertangkap tangan oleh KPK. Yang menarik, sebuah surat kabar nasional ketika meliput rumah orang ini, menyebutkan, di rumahnya di Depok terdapat pura (maksudnya merajan). Boleh kita katakan, pejabat ini terlibat tindakan korupsi karena perintah atasannya. Ia sebenarnya orang Bali yang jujur, tetapi terpaksa melakukan tindakan tercela karena tekanan dari atasannya. Atau apologi yang lain.

Sedangkan yang anggota DPR kita ini diisukan terkait dengan kasus korupsi Muhammad Nazaruddin, yang menggegerkan Indonesia selama beberapa bulan belakangan ini. Sebelum menjadi anggota DPRRI, ia adalah seorang yang aktif dalam kegiatan umat Hindu. Setelah jadi anggota DPR ia sangat murah hati menyumbang untuk pura, untuk kegiatan PHDI, seperti dharma santi, misalnya. Orang-orang Bali yang mengenal sepak terjangnya, berkata, “kasihan dia.” Orang-orang Bali yang tidak mengenalnya, berkata, “Malu-maluin Bali saja.” Tetapi ada juga yang menanggapinya dengan guyonan hitam, “jangan-jangan panitia dharma santi akan diseret jadi saksi”.

Tulisannya ini dibuat dengan menghormati azas praduga tak bersalah. Kita hormati proses hukum, tetapi tetap memberi simpati kepada kawan yang tertimpa kesulitan, apapun sebabnya.

“Bukti terbesar dari ketidak-jujuran orang Bali adalah kecurangan dan pelanggaran moral yang dilakukan oleh oknum-oknum PHDI Bali, termasuk pandita, dalam Maha Sabha X yang lalu.”

Mungkin akan ada yang berkomentar tentang tulisan ini, seperti “mekecuh mot menek” (meludah ke atas – akibatnya akan menimpa muka sendiri). Tulisan ini hanya sekedar ajakan untuk mulat sarira, apakah kejujuran orang Bali suatu realitas atau hanya sekedar mitos? Apapun jawaban atas pertanyaan ini kita simpan saja dalam hati masing-masing.

Ini juga sebuah peringatan bagi orang-orang non-Bali, jangan berlebihan menganggap dan mengharap soal kejujuran orang Bali. Sekalipun Bali disebut Pulau Dewata, penghuninya secara sekala, yang kelihatan, bukanlah para dewata, tetapi manusia yang dibuat dari jiwa dan daging, purusa dan prakerti. Mereka adalah manawa yang ada sedikit di atas danawa dan sedikit pula di bawah dewata. Danawa menariknya ke bawah Dewata menariknya ke atas. Seperti para raksasa dan dewata yang berjuang satu sama lain merebut tirta amerta dalam mitologi pemutaran lautan susu. Siapakah yang akan menang? Yang menang adalah yang dipelihara dan diberi perhatian lebih banyak.

Oleh : Ki Temesi

Source : Media Hindu

5.3.13

Apakah Tuhan Semua Agama Sama

Persamaan Pendapat.Pada dasarnya semua agama mengajarkan keyakinan seperti dibawah ini : Tuhan adalah yang menciptakan semesta alam dan seisinya. Tuhan adalah yang menghidupi semua mahluk hidup. Tuhan adalah yang berkuasa atas semesta alam dan semua mahluk hidup. Tuhan adalah yang menjadi penyembahan dan pemujaan umat manusia. Tuhan adalah yang Maha Esa. Khusus di Indonesia semua agama sepakat dengan butir kelima yang menjadi sila pertama dari Pancasila yaitu KeTuhanan Yang Maha Esa.Akan tetapi apakah masing masing umat beragama memahami bahwa Tuhannya berbeda dengan Tuhan umat beragama lain? Jawabannya perlu pembahasan dibawah ini.

Perbedaan Pendapat.
Perbedaan bahasa. Masing masing bangsa (umat) menyebut Tuhan sesuai dengan bahasanya, seperti : Yahudi menyebut dengan nama Yahweh, Arab dengan nama Allah, Hindia – Brahman, Inggris – God, Yunani – Deo, Bali – Sang Hyang Widhi, Sunda ada yang menyebut Gusti, Jawa dengan berbagai sebutan seperti Pangeran, Hyang Manon, Hyang Widhi, Suksma Kawekas, dll. Termasuk bangsa bangsa lain diseluruh dunia ini menyebut sesuai dengan bahasanya.

Pertanyaannya adalah apakah kalau sebutannya berbeda, dapat dikatakan Tuhannya juga berbeda? Jawabannya perlu uraian dibawah ini.

Umat beragama di dunia ini terutama yang berakal sehat, berpendapat bahwa meskipun berbeda agama, Tuhan tetap sama, karena keyakinan seperti tersebut di bab A. Perbedaan hanya karena bahasa atau sebutannya saja.

Namun ada sebagian umat agama tertentu yang berpendapat bahwa Tuhan yang benar adalah yang sesuai dengan bahasanya atau sebutannya. Dinyatakan bahwa Tuhan yang benar adalah yang sebutannya A, kalau sebutannya B, D, G, H, S dan Y maka itu Tuhan yang salah. Pertanyaannya adalah bagaimana Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki semesta alam seisinya termasuk seluruh bahasa didunia ini, menyikapi pernyataan agama tertentu tersebut?

Tuhan Yang Maha Luhur dan Maha Kasih, sumber segala ilmu lahir dan batin, yang mengatur setiap kejadian seperti kejadian adanya berbagai agama dan berbagai bahasa di dunia ini, pastinya menerima seluruh umat manusia yang menganut berbagai agama dan menggunakan berbagai bahasa dengan tanpa pilih kasih. Ibarat eorang ibu yang memiliki banyak anak, tidak akan membeda bedakan kasih sayangnya meskipun ada salah satu anaknya yang merasa paling benar dan menganggap saudara saudaranya salah. Apalagi Tuhan yang memiliki berbagai umat dunia ini sebagai anak anakNya, tidak akan membeda bedakan satu sama lain, meskipun ada salah satu anakNya yang merasa paling baik. Tuhan Yang Maha Mulia tentu juga tidak terprovokasi oleh yang suka menjelek jelekkan saudara saudaranya. Tapi Tuhan Maha Pengampun, maka mengampuni anakNya yang satu itu, maklum dulu lahir ditempat yang gersang dan panas sehingga bertemperamen keras. Akan tetapi Tuhan juga Maha Adil, maka anakNya yang paling berbakti mendapatkan anugerah berupa kelebihan dari pada yang lain, seperti kecerdasan, kecakapan, ketrampilan, dll kemampuan.

Jadi kesimpulannya Tuhan Yang Maha Esa ini tetap menjadi Tuhannya berbagai agama yang masing masing bisa saja menyebutNya dengan bahasa yang berbeda.

Perbedaan pemahaman tentang Tuhan.
Pemahaman tentang (Ilmu) keTuhanan, meliputi segala aspek tentang Tuhan. SifatNya, KarsaNya, keMaha SegalaanNya dan keberadaanNya. Didalam ajaran Islam termasuk Tauhid, sedang didalam ajaran Hindu termasuk Tatwa. Tentunya Tuhan mengajarkan dasar dasar Ilmu keTuhanan yang sama untuk berbagai agama. Apabila terjadi perbedaan, karena pemahaman (penafsiran) yang berbeda. Jadi umat agama yang satu dalam menafsirkan ilmu keTuhanan bisa ada perbedaan dengan umat agama lainnya. Sehingga ada hal hal tertentu yang satu sama lain tafsirannya sama, ada hal hal lain yang tafsirannya berbeda. Bahkan dalam satu agamapun yang berbeda golongan, bisa terjadi beda tafsir. Penyebabnya disamping perbedaan ruang dan waktu, juga karena perbedaan tingkat spiritual dan perbedaan kemampuan daya pikir, yang resultantenya berupa perbedaan tingkat kesadaran berkeTuhanan. Gus Dur secara bergurau menceritakan ada 3 orang yaitu seorang pastur, seorang pendeta Hindu dan seorang kyai, berdialog tentang kedekatan umat dengan Tuhan. Sang pastur mengatakan bahwa umatnya memanggil Tuhan dengan sebutan Bapak, untuk menunjukkan kedekatannya, ibarat bapak dengan anak. Sang pendeta mengatakan bahwa umatnya memanggil Tuhan dengan sebutan Om (yang oleh Gus Dur diartikan sebagai paman), bukankah antara paman dengan keponakan juga dekat. Sang kyai tadinya diam saja, kemudian didesak untuk berpendapat, akhirnya mengatakan : ”Umat saya boro boro dekat dengan Tuhan, untuk memanggil saja harus bikin menara terlebih dulu, sudah itu teriak teriak meskipun sudah pakai pengeras suara, supaya Tuhan yang jauh dilangit sap 7 bisa mendengar”. Guyonan ini menyiratkan perbedaan prinsip tentang dimana Tuhan berada.

Sebagai contoh umat Hindu meyakini bahwa Tuhan sudah berada didalam hati manusia. Sedang umat Islam menafsirkan Tuhan berada di Arasy, yaitu bersinggasana di atas langit sap ke tujuh. Jika demikian apakah Tuhan umat Hindu berbeda dengan Tuhan umat Islam? Untuk menjawab perlu analogi.

Suatu ketika Kulkas, Setlika dan Kipas angin berdialog tentang Sumber tenaganya yaitu Listrik. Kulkas berkata: “Listrik itu dingin, buktinya aliran listrik menjadikan saya menjadi dingin”. Setlika membantah dengan mengatakan: “Kulkas kamu salah, Listrik yang benar itu panas, buktinya kalau Listrik datang, saya menjadi panas”. Kipas angin berpendapat lain lagi: “Listrik yang benar itu berputar dan menimbulkan angin yang segar. Kalau menjadikan rasa dingin atau panas itu bukan Listrik”. Ketiganya berbantah berdasarkan yang dirasakan sendiri, sehingga tak ada ujung penyelesaiannya. Sampai kemudian datang Sarjana Listrik memberikan pencerahan dengan mengatakan: “Kulkas, Setlika dan Kipas angin, kalian semuanya benar sesuai dengan yang masing masing alami dan rasakan. Oleh karena itu tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Ketahuilah bahwa Listrik itu dapat menimbulkan dingin, panas dan angin sesuai dengan kapasitas dan potensi kalian masing masing. Bahkan lebih dari itu, bila Lampu berhubungan dengan Listrik dapat menimbulkan cahaya, bila Radio berhubungan dengan Listrik dapat menimbulkan suara, bila TV berhubungan dengan listrik dapat menimbulkan gambar dan masih banyak lagi kemampuan Sang Listrik, sekali lagi sesuai dengan kapasitas dan potensi masing masing”. Setelah mendapatkan pencerahan dari Sarjana Listrik maka ketiga saudara Kulkas, Setlika dan Kipas angin menjadi faham dan rukun kembali.

Demikian pula dengan pemahaman umat Islam, bahwa Tuhan berada di Arasy yaitu singgasana diatas langit sap tujuh. Sedang pemahaman umat Hindu, Tuhan berada didalam hati setiap manusia. Keduanya satu sama lain berbeda pemahaman, tetapi keduanya bisa benar, karena Tuhan meliputi semesta alam dan seisinya. Bahkan apabila ada anggapan Tuhan berada lebih jauh dari langit sap tujuh yaitu di ujung galaxy yang jaraknya dari bumi membutuhkan waktu jutaan tahun kecepatan cahaya, juga tidak salah karena Tuhan memang juga ada disana. Sebaliknya apabila ada pendapat bahwa Tuhan sudah menyatu didalam hati setiap umatnya, sebagaimana anggapan kelompok penghayat kepercayaan, juga tidak dapat disalahkan, karena sekali lagi, Tuhan meliputi semesta alam seisinya baik itu ditempat yang dekat sekali maupun ditempat yang jauh sekali. Orang Jawa bijak menyatukan dua pendapat yang berbeda itu dengan ungkapan : Cedak ora sesenggolan, adoh tanpa antara. Terjemahannya dekat tidak bersinggungan jauh tanpa jarak, yang artinya adalah bertunggalnya umat dengan Tuhan yang meliputi semesta alam seisinya.

Pengalaman penulis tahun 1996 ketika masih dinas di Surakarta, dengan staf berjumlah 40 PNS. Yang beragama Islam sebanyak 30 orang kami kumpulkan di ruang rapat dan ditanya : “Apakah Tuhan agama Kristen sama dengan Tuhan agama Islam?”. Hampir semuanya menjawab tidak sama, kecuali 3 orang yang termasuk Islam Abangan (yang sekedar tercantum di KTP beragama Islam) serta 1 orang penganut kepercayaan (juga ber KTP Islam) menjawab sama. Dilain waktu 10 orang yang beragama Kristen ketika ditanya : “Apakah Tuhan agama Islam sama dengan Tuhan agama Kristen?”. Semuanya menjawab sama. Sambil menguji, pertanyaan kami selanjutnya :”Bagaimana dengan pandangan umat Islam bahwa umat Kristen berTuhan 2 yaitu Tuhan Allah (Allah Sang Bapa) dan Tuhan Yesus (Allah Sang Putra)?”. Sejenak diam hingga ada beberapa orang yang menjawab yang apabila dirangkum jawabannya sbb :

Pada prinsipnya Kristen menganut satu Tuhan juga, sedang sebutan Tuhan Yesus (Allah Sang Putra) mengandung maksud :

Bahwa Yesus itu sudah sedemikian dekatnya dengan Allah, ibarat anak dengan bapak, maka disebut Allah Sang Putra. Kami semua ini kalau betul betul menjadi Kristen seperti yang diajarkan Yesus, juga dapat disebut Anak Allah, karena dekat dengan Allah, ibarat anak dengan bapak.

Sebutan Tuhan Yesus, untuk memberikan pemahaman dan keyakinan kepada umat Kristen bahwa Yesus itu tidak hanya dekat dengan Tuhan, bahkan Roh Yesus itu sudah menyatu dengan Tuhan. Sehingga segala sesuatu yang dirasakan, diucapkan dan dilakukan Yesus adalah Kehendak Tuhan, Keadilan Tuhan, Kebijaksanaan Tuhan dan Kekuasaan Tuhan.

Atas pertanyaan :”Kalau begitu mengapa tidak menyebut saja Tuhan Allah, sedang sebutan Tuhan Yesus tidak usah dipakai?”, jawabnya adalah sebutan Tuhan Yesus untuk menunjukkan identitas sebagai umat Kristiani, sekaligus untuk selalu mengingat Yesus sebagai Nabi, Utusan Tuhan, Juru Penolong, Juru Penghibur dan Juru Penuntun dijalan benar.

Dari rangkuman jawaban diatas, dapat ditambahkan bahwa ungkapan Yesus sebagai Anak Allah adalah kiasan, jadi bukan berarti anak biologis Tuhan. Sebutan Tuhan Yesus diberikan karena pada hakekatnya Yesus itu, mengambil istilah para penghayat kepercayaan, sudah mencapai tingkat Manunggaling Kawula Gusti, didalam ajaran Hindu disebut sebagai Moksha yaitu menyatunya Atman denga Brahman. Sedang Tuhan Yesus dan Tuhan Allah, bukan berarti ada 2 Tuhan. Seperti diagama Islam disebut Al Rahman, Al Rahiim, Al Malik, Al Quddus, Al Salaam, Al Mukmin, dstnya ada 99 nama didalam Asmaul Husna, bukan berarti Tuhan ada 99. Demikian pula didalam ajaran Hindu ada Brahma sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pencipta, Wisnu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pemelihara dan Siwa sebutan untuk Tuhan Yang Maha Pelebur; bukan berarti Tuhan ada 3.

Betulkah Ada Banyak Tuhan?
Sebagian besar umat Islam tingkatan awam, menyatakan bahwa Tuhan yang benar adalah yang satu, bukan 2 dan bukan 3, yang sebutannya Allah. Sang Hyang Widhi, Yahweh, Deo dan God adalah Tuhan agama lain! Pernyataan ini berarti bahwa mereka menganggap ada banyak Tuhan, yaitu Tuhannya agama lain. Ada Tuhan yang namanya Sang Hyang Widhi yang khusus menguasai kehidupan umat Hindu, ada Tuhan yang namanya Yahweh yang khusus mengatur nasib umat Yahudi, dstnya. Jadi bila penduduk dunia ini ada 7 milyard, maka Allah hanya berkuasa terhadap I,5 milyard yang beragama Islam, sedang yang 5,5 milyard dikuasai oleh Tuhan Tuhan lain yang sebutannya bukan Allah? Jika demikian halnya maka Tuhan yang telah menciptakan seluruh umat manusia yang berjumlah 7 milyard ini, tidak diakui oleh umat Islam yang Tuhannya hanya mencipta 1,5 M umat Islam?

Terlepas dari anggapan diatas, adalah suatu fakta (kenyataan) bukan sekedar kepercayaan, bahwa Tuhan Yang Maha Tunggal itu, yang tiada duanya, adalah yang menguasai dan mengatur kehidupan seluruh 7 milyard manusia apapun agamanya dan apapun sebutan yang diberikan kepada Tuhan. Bahkan yang tidak berTuhan atau yang tidak percaya kepada Tuhanpun, tetap dikuasai oleh Tuhan.

Dalam kehidupan sehari hari yang dialami orang perorang, meskipun untuk hal yang sangat sepele sekalipun, tidak bisa lepas dari Kekuasaan Tuhan, Keadilan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Jadi sekecil apapun kebaikan akan memperoleh balasan kebaikan, sekecil apapun keburukan akan memperoleh balasan keburukan, inilah bukti Keadilan Tuhan. Didalam ajaran Hindu termasuk bagian dari Hukum Karma, meskipun para kyai dan ustadz mengatakan ajaran Islam tidak ada Hukum Karma, namun setiap umat Islam tetap tidak dapat lepas dari Hukum Karma, termasuk terhadap para kyai itu. Bahkan tujuan hidup umat Hindu yaitu Moksha (Manunggaling Kawula Gusti) adalah tujuan akhir dari setiap Ruh umat Islam juga, meskipun tidak disadarinya. Seperti reinkarnasi, tidak hanya terjadi pada umat Hindu dan Budha, tetapi seluruh umat manusia yang beragama Islam dan Kristen, bahkan yang tidak beragama dan yang tidak percaya reinkarnasi, akan mengalami reinkarnasi itu. Jadi meskipun umat Islam tidak mempercayai dan tidak menyadari bahwa Tuhannya dapat melakukan reinkarnasi terhadap mereka, namun Allah tetap melakukan reinkarnasi terhadap mereka. Apalagi doa bagi yang meninggal dunia hanya sebatas :”Kembali disisi Tuhan”, berarti meninggal belum sempurna, maka perlu dihidupkan kembali didunia sekali atau berkali kali lagi sampai pada tingkat meninggal yang sempurna yaitu : “ Bertunggal dengan Tuhan”. Penalaran spiritual mengatakan, kalau begitu umat Islam tidak pernah sampai pada tingkat bertunggal dengan Tuhan karena memahami saja belum, oleh karena itu setelah meninggal selalu dihidupkan kembali sampai memperoleh keberuntungan masuk dalam keluarga Hindu, sehingga mencapai tingkat kesadaran tertinggi yaitu bercita cita untuk bertunggal dengan Tuhan. Oleh karena itu keluarga Hindu harus menerima dengan tulus dan ikhlas, jiwa jiwa orang Islam yang telah meninggal dan hidup kembali (mungkin menjadi anak atau cucu) agar kematian berikutnya mencapai kesempurnaan, yaitu moksha. Sebab kalau hidup kembali tetap berada di keluarga Islam, kasihan sekali, tidak akan dapat bertunggal dengan Tuhan. Lebih kasihan lagi yang dulunya sudah Hindu, kemudian hidup kembali sebagai orang Islam. Inilah yang dialami oleh mayoritas orang Jawa dan Sunda yang hidup diabad ini.

Kesimpulan.
Masing masing umat beragama pada dasarnya meyakini bahwa semesta alam dan seisinya, termasuk 7 milyard manusia ini, diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan Yang Maha Tunggal, sebagai satu satunya pencipta kejadian, termasuk menciptakan kejadian berbagai bahasa dan agama, adalah tetap menjadi satu satunya Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh semua umat beragama, meskipun masing masing menyebut dengan nama yang berbeda, sesuai dengan bahasa atau sebutan yang dianut oleh masing masing agama.

Perbedaan ajaran agama sebaiknya disikapi secara positif, sebagai pentahapan tingkat kesadaran yang berjenjang. Selayaknya yang berada ditingkat kesadaran diatas dapat memahami yang masih berada ditingkat kesadaran dibawahnya. Sebaliknya, tidaklah menjadi masalah apabila yang masih berada ditingkat bawah tidak dapat memahami yang diatasnya, karena hal ini adalah wajar. Sehingga apabila ada agama baru yang mengajarkan tingkat kesadaran berkeTuhanan yang masih rendah dengan menganggap Tuhannya yang paling benar dan agamanya yang paling baik, tidak perlu disikapi dengan cara yang sama oleh umat agama yang lebih tua. Mudah mudahan dengan melalui proses reinkarnasi, tahap demi tahap dapat mencapai tingkat kesadaran berkeTuhanan yang tertinggi, yaitu bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa.

"Selama Tuhan tampak di luar dan jauh sekali, selama itu ada kebodohan. Tetapi di mana Tuhan direalisasikan di dalam, itu adalah pengetahuan yang benar." Sri Ramakrishna Paramahamsa (1836-1886)

Bhagavad-gītā Bab 1 Śloka 6

(Bagian 1)
Oleh : Rasa Acharya Prabhu Darmayasa
Yudhāmanyuś ca vikrānta uttamaujāś ca vīryavān saubhadro draupadeyāś ca sarva eva mahārathāḥ
Arti Kata: Yudhāmanyuḥ : Yudhāmanyu
ca : juga
vikrānta : sangat perkasa
uttamaujāḥ : Uttamauja
ca : juga
vīryavān : pemberani
saubhadro : putra Subhadrā
draupadeyāḥ : putra-putra Draupadī
ca : juga
sarva : semua
eva : adalah
mahārathāḥ : ksatria hebat dalam pertempuran

Terjemahan: Hadir pula ksatria-ksatria hebat seperti Yudhāmanyu yang pemberani dan Uttamauja yang sangat kuat, dan juga putra Subhadrā serta putra-putra Draupadī. Mereka semua adalah ksatria hebat dalam pertempuran.

Catatan:
Pada śloka ini disebutkan daftar para ksatria hebat (mahāratha) yaitu dua orang ksatria Pañcala, putra Subhadrā dan putra-putra Drupadī.

“Yudhāmanyuś ca vikrānta uttamaujāś ca vīryavān” – kata vikrānta (pemberani) ditujukan kepada Yudhāmanyu dan kata vīryavān (kuat, pemberani) ditujukan kepada Uttamauja. Keduanya adalah putra raja Pañcala, sebuah kerajaan besar pada akhir zaman Dvāpara Yuga. Di sebelah utara dibatasi oleh pegunungan Himālaya, di sebelah timur oleh hutan suci Naimiśaraṇya, tempat ribuan maharṣi pada zaman dahulu bertapa, di sebelah selatan dibatasi oleh sungai Carmanvatī dan di barat oleh kerajaan Matsya, Kuru dan Śurasena. Setelah terjadi perselisihan antara Mahārāja Drupada dengan Droṇa Ᾱcārya, Pañcala dibagi menjadi dua; satunya oleh Mahārāja Drupada dan bagian Utara Pañcala diperintah oleh putra Droṇa, Aśvāthāma.

Di sini, nama Yuddhāmanyu dijejer bersama dengan kata vikrānta. Yuddāmanyu disebutkan sebagai ksatria yang sangat kuat dan saudaranya yang bernama Uttamauja sebagai ksatria sangat pemberani (vīryavān). Keśavakaśmi Bhattācārya dalam Tatva-prakāśikā-nya setuju dengan hal ini (yuddhāmanyor vikrānta iti. Uttamaujaso vīryavān iti). Madhusūdana Sarasvati dalam Guḍhārthadīpikā-nya juga berpendapat yang sama (vikrānto yuddhāmanyuḥ vīryavānścottamaujā iti dvau). Dhṛṣṭadyumna memberikan tugas kepada mereka berdua untuk menjaga kanan-kiri kereta Arjuna. Uttamauja menjaga keselamatan roda kereta bagian kanan dan Yudhāmanyu menjaga bagian kiri. Belakangan tugas tersebut digantikan oleh Sātyakī dan Dhṛṣṭadyumna.

Diberikan nama Uttamauja karena ia adalah seorang anak pilihan, sangat baik dan yang maha utama (uttama), digabung dengan kata Ojah (berarti kekuatan tenaga dalam, inner power) menjadi Uttamaujah, seorang anak yang sangat utama dan memiliki kekuatan tenaga dalam maha hebat. Śankarānanda dalam Tātparyabodhinī-nya menegaskan Uttamauja sebagai ksatria sangat hebat (uttamojo balaṁ yasya sa uttamaujāḥ pāñcālaḥ vīryavān). Saat ia bertempur, ia akan membangkitkan kekuatan tenaga dalamnya dan ia bertempur sebagai meditasi atau sembahyang baginya, sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam peperangan Kurukṣetra Uttamauja bertempur dan mengalahkan Suśena, putra Karṇa dan Yudhāmanyu membunuh Citrasena, saudara Karṇa. Yudhāmanyu dan Uttamauja akhirnya dibunuh bersama-sama dengan lima orang putra Drupadī setelah perang Bharatayuddha berakhir, di hari ke- 18 perang Kurukṣetra dengan cara sangat keji. Aśvātthāmā dengan cara sangat licik di tengah malam mendatangi kemah musuh dan menggorok Yuddhāmanyu, Uttamauja serta kelima putra Drupadī di dalam kemahnya ketika mereka sedang tertidur.

“Saubhadro draupadeyāś ca sarva eva mahārathāḥ” – putra Subhadrā yaitu Abhimanyu (saubhadro’bhimanyuḥ) dan kelima putra Drupadī (draupadeyāḥ) semua adalah ksatria Mahārathī. Bhāvaprakāśa dari Sadānanda menyebutkan bahwa putra Subhadrā yang dimaksud adalah Abhimanyu (saubhadraḥ subhadrāputro’bhimanyuḥ) dan draupadeyāḥ dimaksud adalah kelima putra Drupadī (draupadeyāḥ drupadīputrāḥ prativindhyādayaḥ pañca).

Dalam kitab Viṣṇu Purāṇa disebutkan pula terdapat nama Abhimanyu lain yang adalah putra dari Manu Cakṣusā dengan istrinya bernama Naḍvalā.

Abhimanyu yang Saubhadrā-putra pada hidup lalunya adalah putra Dewa Soma bernama Varcas. Ia dikirim ke dunia ini untuk tujuan tertentu selama 16 tahun. Menurut cerita, itulah sebabnya ia terbunuh di medan perang Kurukṣetra pada usianya yang ke-16.

Abhimanyu dan ibunya, Subhadrā dipelihara oleh Kṛṣṇa di Dvārikā pada waktu Pāṇḍava menjalani pengasingannya. Ia diajarkan ilmu peperangan oleh putra Kṛṣṇa, Pradyumna dan juga oleh Satyaki, Kṛtavarma dan lain-lain. Bimbingan Kṛṣṇa dan Baladeva sejak kecil membuat ia menjadi seorang ksatria sejati setingkat Mahārathī. Dalam peperangan Bharatayuddha ia menunjukkan kegagahan dan keberanian luar biasa. Ia dipuji tidak hanya oleh pihaknya tetapi juga oleh pihak musuh, Kaurava. Ia sendirian berhasil menghancurkan hampir satu akṣauhiṇi pasukan Kaurava.

Keksatriaan dan gelar Mahārathī-nya menjadi nyata ketika pada hari ke-13 perang Kurukṣetra, Abhimanyu menembus formasi Cakravyūha yang digelar oleh Droṇācārya. Formasi pasukan perang yang bernama Cakravyūha adalah formasi yang sangat hebat dan mustahil untuk ditembus oleh musuh. Selain Abhimanyu, hanya tiga orang lagi yang mampu menembus formasi Cakravyūha maha kuat dan sangat rapi itu, yaitu Arjuna, Kṛṣṇa dan Pradyumna. Setelah berhasil menembus Cakravyūha, Abhimanyu mengamuk dan sendirian ia menghancurkan hampir satu akṣauhiṇi pasukan Kaurava (Satu Akṣauhiṇi pasukan terdiri dari 21870 kereta perang, 21870 gajah, 65610 kuda dam 109350 orang tentara).

Kaurava akhirnya terpaksa menerapkan ilmu “keroyok”-nya. Seorang anak muda usia 16 tahun dikeroyok oleh para ksatria maha hebat seperti Droṇa, Kṛpācārya, Karṇa, Śakuni, Duryodhana, Bhagadatta, Aśvatthāmā, Śalya, Kṛtavarmā, Bṛhadbala dan lainlain. Melihat kemampuan Duryodhana sudah tidak memungkinkan memenangkan pertempuran akhirnya (atas hasutan Śakuni) Droṇa mengatakan bahwa Abhimanyu hanya bisa dikalahkan melalui cara tidak ksatria.

Karṇa, setelah mendapat aba-aba dari pemimpin perangnya, secara diam-diam dan licik segera memanah dan menghancurkan tali busur Abhimanyu dari belakang. Sedangkan di saat yang sama, dari arah depan Droṇa membunuh kuda-kuda dan kusir kereta Abhimanyu, Sumitra. Mulailah terjadi pengeroyokan seorang anak muda oleh para ksatria kuat tak terkalahkan. Abhimanyu diserang dengan berbagai senjata dari segala arah. Akhirnya dalam pengeroyokan tersebut ia gugur oleh serangan terakhir oleh putra Dusśāsana bernama Durmaśana. Sumber lain menyebutkan nama putra Dusśāsana dengan nama Saindhava.
Sumber : Media Hindu Online